Rabu, 04 Juni 2014

Ketika Takut Kepada Allah

Ibrahim bin Ahmad bin Ismail, nama kunyahnya Abu Ishaq, atau lebih dikenal dengan Ibrahim al Khawwas, adalah seorang tokoh sufi yang sezaman dengan Junaid al Baghdadi dan Abul Husain an Nuri. Beliau sangat kuat dalam tawakal dan sangat gencar dalam riyadhah, beliau wafat karena sakit perut ketika riyadhahnya, pada tahun 291 H (atau 904 M) di Ar Ray. Salah satu nasehat beliau adalah tentang obat hati yang lima, yang sekarang ini banyak dijadikan bahan lagu pujian, tembang dan lagu-lagu rohaniah (Islam tentunya).
Suatu ketika Ibrahim al Khawwash sedang dalam suatu perjalanan atau perantauan bersama beberapa orang lainnya. Menjelang malam di dekat suatu hutan, mereka beristirahat dan bersiap tidur, tetapi tiba-tiba datang seekor harimau yang duduk bersimpuh di dekat mereka. Tentu saja mereka lari menyelamatkan diri dengan naik ke sebuah pohon yang tidak jauh letaknya. Mereka duduk, mungkin juga sampai tertidur di cabang pohon itu hingga pagi tiba, tetapi anehnya, Ibrahim bin Khawwash dengan tenangnya tidur tanpa perasaan takut dan khawatir akan ancaman harimau itu.
Ketika fajar menjelang, sang harimau meninggalkan tempat itu begitu saja, tanpa ada insiden penyerangan. Setelah melaksanakan shalat subuh, mereka melanjutkan perjalanan. Pada malam harinya, mereka tiba di suatu masjid dan bermalam di sana. Tengah malam, ketika semua orang sedang asyiknya tertidur, tiba-tiba terdengar teriakan Ibrahim bin Khawwash, semacam teriakan ketakutan yang membangunkan semua orang di masjid itu. Salah seorang bertanya, “Wahai Abu Ishaq, apa yang terjadi dengan dirimu?”
Ibrahim berkata, “Seekor kepinding jatuh tepat di wajahku, yang membuatku terkejut dan ketakutan!!”
Mereka berkata, “Sungguh ajaib, kemarin engkau tidur bersebelahan dengan harimau tetapi engkau tenang-tenang saja, tertidur tanpa terganggu. Tetapi hanya karena seekor kepinding, kali ini engkau berteriak membangunkan orang semasjid!!”
Ibrahim berkata, “Kemarin itu aku sedang diliputi perasaan takut kepada Allah dan bergantung kepadanya, sehingga aku ‘terambil’ dari diriku sendiri. Kali ini aku dikembalikan kepada diriku sehingga aku merasa takut walau hanya terhadap kepinding!!”         

Note:asq124rq604

Melihat Kesalahan Diri Sendiri (Introspeksi)

Di masa sebelum diutusnya Rasulullah SAW, ada seorang lelaki saleh dari Bani Israil yang mempunyai amalan yang sungguh luar biasa. Telah tujuhpuluh tahun lamanya ia berpuasa dan hanya berbuka setiap tujuh hari sekali. Dalam beberapa waktu terakhir, ia selalu berdoa kepada Allah agar diperlihatkan kepadanya bagaimana cara syaitan menyesatkan manusia. Ia berharap, dengan mengetahui hal itu ia bisa menghindari jalan dan cara yang digunakan syaitan tersebut.
Beberapa waktu lamanya berdoa, bahkan ia menambah beberapa aktivitas ibadahnya tetapi Allah belum juga mengabulkannya. Sebagai seorang yang saleh, ia menyadari bahwa ada yang salah dengan dirinya, yakni sikap batinnya dalam berdoa, maka ia berkata kepada dirinya sendiri, “Jika saja aku bisa melihat dosa dan kesalahan antara aku dan Tuhanku, tentulah hal itu lebih baik daripada apa yang aku minta (yakni melihat syaitan)…!!”
Kemudian Allah SWT mengutus salah satu malaikat, dan sang malaikat berkatanya, “Sesungguhnya Allah mengutus aku kepadamu, dan Allah berfirman : Sesungguhnya perkataan (terakhir) yang engkau katakan itu jauh lebih baik daripada seluruh ibadah yang telah engkau lakukan di masa lalu….”
Malaikat itu melanjutkan, “Karena hal itulah Allah mengijinkanmu untuk melihat, maka sekarang lihatlah apa yang engkau inginkan….!!”
Lelaki Bani Israil itu melihat bagaimana tentara-tentara iblis mengitari bumi, bergerak antara langit dan bumi dengan bebas dan cepatnya. Tidak ada seorang manusiapun kecuali setan-setan itu mengitarinya untuk menggelincirkannya, layaknya sekelompok serigala yang mengitari seekor kambing untuk disantap menjadi makanannya. Ia berkata seperti putus asa, “Wahai Tuhanku, siapakah yang bisa selamat dari semua itu?”
Allah berfirman, “Yang bisa selamat adalah orang-orang yang wara’ dan bersikap lemah lembut kepada sesamanya!!”
Makna wara’ sangat luas, tetapi secara ringkas bisa dikatakan sebagai sikap waspada dan hati-hati, berusaha menjauhkan diri dari perkataan dan perbuatan yang bisa membuatnya jatuh ke dalam dosa.

Note:iu4-19