Pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan dari Bani Umayyah,
yakni pada tahun 70-80 an hijriah, ada seorang sufi pengembara bernama bernama
Shidqah bin Mirdas al Bakri. Ia sering menjelajahi negeri-negeri Islam yang
saat itu wilayahnya telah sangat luas, untuk mendapat hikmah dan pengajaran
dari berbagai orang di berbagai macam tempat.
Dalam pengembaraannya di wilayah
Antokiah, termasuk wilayah Romawi saat itu, atau (mungkin) di Turki saat ini,
ia melihat tiga buah makam yang tidak seperti umumnya di atas sebuah bukit.
Pada masing-masing batu nisan yang cukup besar itu tertulis kalimat yang
panjang lebar berisi sebuah pesan berharga, padahal biasanya hanya berisi nama
dan terkadang ditambah tanggal kematiannya. Shidqah berusaha mencari tahu
tentang masalah itu, dan ia dipertemukan dengan seorang syech yang cukup
terkenal dan disegani di perkampungan itu. Setelah mendengar pertanyaannya,
syech itu berkata, “Sesungguhnya kisah tentang mereka yang dimakamkan lebih
menakjubkan daripada yang engkau lihat!!”
Kemudian sang syech menceritakan
bahwa di masa lalu hidup tiga orang bersaudara, mereka memiliki aktivitas dan
perilaku yang sangat berbeda, tetapi tetap saling menyayangi satu sama lainnya.
Yang pertama adalah seorang gubernur, yang sibuk dengan urusan pemerintahan,
khususnya di bidang kemiliteran. Yang kedua seorang pedagang yang sukses, yang
sibuk dengan aktivitasnya untuk menumpuk kekayaan sebanyak-banyaknya. Sedangkan
yang ketiga dan paling muda seorang pemuda yang saleh dan zuhud, ia lebih suka
menyendiri untuk menyucikan dirinya (jiwanya) dengan banyak beribadah kepada
Allah.
Suatu ketika sang adik termuda itu
sakit dan kelihatannya telah dekat waktu kematiannya. Kedua kakaknya yang
menungguinya berkata, “Wahai adik, adakah sesuatu yang perlu engkau wasiatkan
kepada kami berdua?”
Sang adik berkata, “Tidak, demi
Allah aku tidak memiliki harta sedikitpun yang menjadi sebab aku harus
berwasiat!!”
Sang kakak berkata, “Wahai adikku,
katakan saja apapun yang engkau harapkan. Hartaku ini adalah untukmu,
berwasiatlah dengannya apapun yang engkau inginkan. Aku berjanji akan
melaksanakannya!!”
Kakak satunya lagi juga menegaskan
komitmen yang sama. Sang adik berkata, “Baiklah, aku akan berpesan kepada
kalian dan janganlah kalian mengingkari pesan itu!!"
Sebagai seorang yang saleh dan
zuhud, sang adik sama sekali tidak ‘menyinggung’ harta dan jabatan kakaknya
yang melimpah ruah itu dalam wasiatnya. Ia hanya berpesan, kalau ia telah
meninggal, hendaknya mereka berdua yang memandikan dan mengkafaninya, kemudian
ia ingin dimakamkan di tempat (dataran) yang tinggi, dan di batu nisannya
hendaknya dituliskan pesannya, yakni : Bagaimana bisa hidup berfoya-foya bagi
orang yang mengetahui bahwa Tuhan Yang Maha Pencipta akan meminta
pertanggung-jawabannya, dituntut kedzalimannya kepada orang lain, dan akan
diberi balasan kebaikan bagi orang yang berbuat baik!!
Setelah pemuda itu meninggal, dua
kakaknya itu melaksanakan wasiatnya. Beberapa waktu berselang, sang Gubernur
bersama pasukan yang dibawanya melewati bukit tempat adiknya dimakamkan. Ia
menyempatkan untuk men-ziarahinya, dan ketika ia membaca tulisan yang tertulis
di nisannya itu ia menangis tersedu-sedu, padahal sebelumnya ia tidak pernah
menangis. Kesedihannya begitu mendalam, entah apa sebabnya? Apa karena teringat
adiknya yang begitu disayanginya, atau karena pesan yang tertulis itu?
Pada kesempatan lainnya, ia melalui
tempat itu lagi dan men-ziarahinya, dan lagi-lagi ia mengalami kesedihan yang
membuatnya menangis tersedu-sedu. Tetapi ketika akan meninggalkan tempat itu,
tiba-tiba terdengar suatu suara nyaring dari makam adiknya itu. Suara itu
begitu menghentak dan seolah membelah dadanya sehingga ia merasa ketakutan,
karena itu ia segera meninggalkan tempat itu. Pada malam harinya ia bermimpi
bertemu dengan adik bungsunya dan seolah-olah nyata saja, maka ia bertanya, “Apa
yang kudengar dari dalam kuburmu itu, wahai adikku?”
Sang adik berkata, “Itu adalah
suara nyaring yang akan memecahkan kepalamu, sebab engkau melihat suatu
kedzaliman tetapi engkau tidak menghentikannya walau engkau mampu!!”
Sang gubernur sangat ketakutan
mendengarnya, dan ia terbangun dengan keringat dingin bercucuran. Perasaan
gundah, sedih dan takut bercampur baur dalam dirinya, dan ketika pagi
menjelang, ia mendatangi adiknya yang menjadi saudagar dan berkata, “Tidak ada
yang lebih bisa memahami pesan adik kita di nisannya itu kecuali aku ini…”
Kemudian ia menceritakan apa yang
dialaminya, termasuk mimpinya itu, dan ia menyatakan akan berhenti sebagai
gubernur. Setelah menyampaikan pengunduran dirinya kepada khalifah Abdul Malik
bin Marwan, ia meninggalkan segala kemewahan hidupnya selama ini dan tinggal
menyepi dan menyendiri di atas gunung. Tidak ada yang dilakukannya kecuali
hanya bertaubat dan beribadah kepada Allah, sebagaimana pernah dilakukan oleh
adik bungsunya. Tidak ada yang menemaninya kecuali seorang pengembala bersama
ternak-ternaknya.
Ketika ia dalam keadaan sakit parah
yang membawanya kepada ajal, sang penggembala mendatangi sang adik yang menjadi
saudagar untuk mengabarkan hal itu. Ketika menungguinya di saat-saat terakhir,
adiknya berkata, “Wahai kakakku, apakah engkau tidak berwasiat kepadaku?”
Sang kakak berkata, “Dengan apa aku
harus berwasiat? Aku tidak memiliki apapun yang menyebabkan aku harus
berwasiat!! Tetapi aku hanya berpesan kepadamu, agar aku dimakamkan di sisi
adik kita yang telah mendahului kita. Kemudian pada nisanku, hendaklah engkau
tuliskan pesan ini : Bagaimana bisa hidup berfoya-foya bagi orang yakin, bahwa kematian
akan menjemput dengan tiba-tiba. Kekuasaan yang besar dan megah, istana dan
keluarganya akan segera tercabut dari dirinya!!”
Wasiat itu diulanginya sampai tiga kali
sembari ia mendoakan adiknya itu agar Allah akan senantiasa melimpahkan
rahmat-Nya kepadanya. Setelah kakaknya wafat, sang adik segera mengurus
jenazahnya dan melaksanakan wasiatnya tersebut.
Pada hari ketiga ia berziarah ke
makam dua saudaranya itu dengan perasaan sedih dan gulana. Rasanya masih belum
lama berlalu ketika mereka bertiga saling mengasihi dan menjaga, walau dalam
keadaan yang sangat berbeda. Ketika ia akan beranjak pulang, tiba-tiba
terdengar suara nyaring dari dalam kubur, yang membuat hatinya begitu miris dan
akalnya nyaris hilang. Ia bergegas pulang dengan rasa takut sekaligus bingung,
seperti orang yang linglung.
Pada malam harinya ia bermimpi
tentang kakaknya, seolah-olah ada seorang lelaki yang berkata untuk
menyampaikan pesan kakaknya itu, “Jika saja aku bertemu saudaraku, akan
kulemparkan dia!!”
Tentu saja sang saudagar merasa
kaget dengan perkataan lelaki itu, ia berkata, “Dimanakah saudara-saudaraku?
Bukankah aku selalu menziarahinya?”
Lelaki itu berkata, “Jauh sekali,
tetapi mereka dalam keadaan tentram di tempat kami!!”
Tampaknya belum puas dengan jawaban
seperti itu, ia berkata lagi, “Dimana saudaraku? Bagaimanakah keadaannya?”
Lelaki itu berkata, “Baik sekali
keadaannya, sesungguhnya taubat itu tidak berkumpul kecuali dengan kebaikan!!”
Ia masih bertanya lagi, “Bagaimana
keberadaannya?”
Lelaki itu berkata, “Mereka bersama
dengan para pemimpin yang baik-baik!!”
Sebenarnya sang saudagar itu ingin
agar ia ‘bertemu’ langsung dengan kakak dan adiknya dalam impiannya itu,
setelah peristiwa mengejutkan yang dialaminya ketika ia menziarahi makam
mereka. Tetapi tampaknya lelaki itu tidak memberinya kesempatan untuk bertemu,
kecuali hanya mengabarkan keadaan mereka. Ia jadi merasa tersisihkan, padahal
ia sangat ingin berkumpul bersama dengan akrabnya, sebagaimana ketika mereka
masih hidup dahulu.
Dengan perasaan gundah gulana, ia
berkata, “Apakah ada yang ingin engkau pesankan (nasehatkan) pada diriku?”
Lelaki itu berkata, “Barang siapa
yang meninggalkan sedikit saja dari kekayaan dunia (yakni, setelah sebagian
besarnya disedekahkan), maka ia akan mendapatinya hasilnya di akhirat. Karena
itu jagalah (manfaatkanlah) kekayaanmu sebelum miskinmu!!”
Setelah itu sang saudagar terbangun
dari mimpinya dengan perasaan rindu yang amat menggumpal kepada
saudara-saudaranya yang telah meninggal. Mimpi yang amat berkesan itu membuat
sikapnya berubah, ia segera meninggalkan kesibukan perniagaannya dan mengisi
hari-harinya dengan ibadah kepada Allah. Hampir sepertiga hartanya disedekahkan
di jalan Allah, urusan perniagaan diserahkan kepada putranya, dan hanya
menyisakan sedikit untuk dirinya, sekedar untuk bekal beribadah kepada Allah.
Saudagar itu memilih untuk hidup
menyendiri, jauh dari keriuhan dan kesibukan dunia sebagaimana pernah dilakukan
kakaknya. Secara rutin dalam beberapa hari sekali, anaknya menjenguk dirinya di
tempat terpencil itu, hingga suatu ketika mendapati dirinya dalam keadaan sakit
yang amat parah. Mungkin waktu kematiannya telah dekat. Anaknya berkata, “Wahai
ayahku, apakah engkau tidak ingin berwasiat kepadaku?”
Ia berkata, “Demi Allah, wahai
putraku, aku tidak memiliki apapun yang menyebabkan aku harus berwasiat
kepadamu. Tetapi aku berpesan kepadamu, jika aku telah meninggal, kuburkanlah
aku di dekat makam paman-pamanmu, lalu tulislah di nisan makamku dua bait
kalimat ini : ‘Bagaimana bisa hidup berfoya-foya, orang yang menyadari ia akan
berakhir di kuburan? Masa muda yang dijalaninya akan diuji, keindahan wajahnya
yang sempurna akan sirna, dan tubuhnya akan usang dan hancur!!’ Jika wasiatku
itu telah engkau laksanakan, berjanjilah kepada dirimu sendiri sebanyak tiga
kali, bahwa engkau akan selalu mendoakanku!!”
Tak lama berselang ayahnya
meninggal, dan putranya itu merawat jenazahnya, kemudian membawanya ke atas
bukit untuk memakamkannya di dekat kuburan paman-pamannya. Ia juga mengerjakan
semua wasiat ayahnya itu. Pada hari ke tiga ia berziarah ke makam ayahnya,
sesaat ketika ia meninggalkan makam itu, terdengar suara keras dari arah makam
tersebut, suara yang begitu menggetarkan jiwanya, wajahnya menjadi pucat pasi
dan kulitnya serasa mengelupas semua. Ia segera pulang dengan tubuh yang panas
dingin karena ketakutan.
Pada malam harinya ia bermimpi
didatangi ayahnya, yang berkata, “Wahai putraku, kau akan segera berada di
sisiku, segera menyusulku, bahkan kematian itu lebih dekat daripada itu. Karena
itu bersiaplah untuk perjalanan panjangmu, bawalah bekal yang diperlukan di
tempat barumu nanti. Janganlah engkau tertipu, sebagaimana orang-orang yang
tertipu dengan angan-angan panjang mereka, sehingga mereka tidak mempunyai
bekal di tempat kembalinya (akhirat). Menjelang kematiannya mereka menyesal
telah menyia-nyiakan umurnya, dan penyesalan itu tidak ada artinya lagi. Dan lebih
parah lagi, mereka yang menyesal ketika di akhirat baru menyadari kalau mereka
orang yang merugi…Wahai putraku, bergegaslah, bergegaslah, bergegaslah …!!”
Sang syech menutup ceritanya kepada
Shidqah bin Mirdas dengan berkata, “… setelah impiannya tersebut, sang pemuda
menutup usahanya. Semua hutang-hutang dilunasinya, harta dan uang yang masih
ada di orang lain dihalalkannya. Dan sisa harta yang masih dimilikinya terus
disedekahkannya. Pada hari ketiga setelah mimpinya itu, tiba-tiba ia berpamitan
kepada orang-orang di sekitarnya, meminta maaf dan mohon kehalalan jika masih
ada kekhilafannya. Setelah itu ia menghadap kiblat dengan air mata yang terus
menetes, kemudian ia bersyahadat dan meninggal dunia…”
Note:cms65
Tidak ada komentar:
Posting Komentar