Senin, 09 April 2012

Perompak yang Bertaubat

Fudhail bin Iyadh, nama kunyahnya Abu Ali, adalah seorang ulama sufi yang menghabiskan sisa hidupnya di Makkah dan meninggal di Tanah Haram tersebut. Ia dilahirkan tahun 105 H di Samarkand dan wafat tahun 187 H di Makkatul Mukaramah. Sebelumnya ia adalah seorang perompak yang sangat ditakuti di tempat kelahirannya dan di daerah Khurasan, tempat ia dibesarkan dan dewasa. Tidak ada kafilah dagang yang melewati dua kota tersebut kecuali selalu dihinggapi ketakutan akan dijarah oleh Fudhail bin Iyadh dan anak buahnya.
Suatu ketika Fudhail dan anak buahnya sedang beristirahat di tempat persembunyiannya seperti biasanya. Lewatlah suatu kafilah dagang yang kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang pemberani, sekaligus saleh. Ketika tiba di tempat Fudhail tersebut, salah seorang dari mereka berkata, “Fudhail dan anak buahnya berada di tempat ini, kita harus bagaimana??”
Salah satunya menjawab, “Kita panah saja mereka, jika ia terkena dan lari menghindar, kita lanjutkan perjalanan. Jika tidak, kita kembali saja!!”
Mereka sepakat dan mempersiapkan panah-panah mereka. Ketika tampak bayangan-bayangan hitam yang akan menghadang perjalanan mereka, salah satu dari mereka melepaskan anak panahnya sambil membaca ayat al Qur’an, “Alam ya’ni lilladziina aamanuu an takhsya’a quluubuhum li dzikrillaah…” 
Ayat al Qur’an dalam Surat al Hadiid, juz 28 ayat 16 itu artinya adalah : Belum datangkah waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati-hati mereka mengingat Allah?
Fudhail bin Iyadh menjerit keras sekali dan terjatuh ketika anak panah itu meluncur disertai lantunan ayat Al Qur’an. Anak buahnya mengerumuninya, disangkanya anak panah itu mengenai pimpinan mereka dan melukainya. Tetapi mereka sama sekali tidak menemukan luka pada tubuhnya, Fudhail bangkit sambil berseru, “Aku tertimpa panah Allah!!”
Salah seorang lainnya di kafilah itu melepaskan anak panahnya, dan ia juga melantunkan ayat Qur’an mengikuti temannya tadi, “Fafirruu ilallaahi innii lakum minhu nadziirun mubiin…!!
Ayat al Qur’an yang terdapat pada Surat adz Dzaariyat, juz 27 ayat 50 itu artinya adalah : Maka segeralah kembali kepada Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu.
Kembali Fudhail menjerit dan terjatuh, dan ketika anak buahnya memeriksanya, sama sekali ia tidak terluka karena panah tersebut meleset. Ia hanya bangkit lagi sambil berkata, “Aku terkena panah Allah!!!”
Satu orang lagi melepaskan anak panah ke kelompok perompak Fudhail bin Iyadh, dan ia juga melantunkan satu ayat Al Qur’an, “Wa aniibuu ilaa rabbikum, wa aslimuu lahu min qabli an ya’tiyakumul ‘adzaabu tsumma laa tunshoruun…!!”
Ayat al Qur’an itu terdapat pada Surat az Zumar, juz 24 ayat 54, artinya adalah : Dan kembalilah (bertaubatlah) kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).
Lagi-lagi Fudhail menjerit lebih keras walau anak panah itu tidak mengenai dirinya, ia berkata kepada anak buahnya, “Kalian semua pulanglah!! Aku menyesal telah melakukan semua kejahatan ini, hatiku takut kepada Allah. Aku akan meninggalkan semua yang telah aku lakukan selama ini…!!”
Fudhail segera pulang, kemudian ia berkemas untuk meninggalkan tempatnya bergelimang dengan kejahatan tersebut. Ia berniat ‘hijrah’ ke Makkatul Mukaramah dan tinggal di sana untuk menebus semua kesalahannya selama ini dengan bertaubat dan beribadah di Tanah Haram tersebut.
Ketika ia tiba di Naharwan, ia berkunjung kepada Khalifah Harun al Rasyid, raja dari Bani Abbasiyah yang terkenal saleh dan sangat menghargai ilmu pengetahuan. Ketika tiba di hadapannya, tiba-tiba Harun al Rasyid berkata, “Hai Fudhail, sesungguhnya dalam mimpiku aku mendengar seruan : Fudhail takut kepada Allah, ia memilih untuk mengabdi-Nya, maka sambutlah dia!!”
Mendengar ucapan tersebut, Fudhail menjerit dan berkata, “Ya Allah, dengan kemuliaan dan kebesaran-Mu, Engkau cintai hamba-Mu yang penuh dosa ini, yang telah meninggalkan-Mu selama empat puluh tahun dalam gelimang dosa!!”
Semua itu makin menguatkan tekadnya untuk ‘berhijrah’ ke Makkah dan memperbaiki dirinya di tempat kelahiran Islam dan Nabi Muhammad SAW itu. Salah seorang sahabat Fudhail yang juga tinggal bersamanya di Makkah, Abu Ali ar Razi, berkata, “Selama tigapuluh tahun aku tidak pernah melihat Fudhail tertawa, atau sekedar tersenyum (yakni, ia selalu dalam kesedihan karena dosanya di masa lalu), kecuali ketika anaknya yang bernama Ali meninggal. Ketika ditanyakan sebabnya, Fudhail berkata : Sesungguhnya Allah menyukai hal itu (yakni menimpakan ujian dan musibah kepadanya), maka saya pun menyukainya pula!!”   
Dalam riwayat lainnya disebutkan, bahwa Fudhail bertaubat karena seorang wanita yang dicintainya. Walaupun ia seorang perompak dan penjahat yang ditakuti, ternyata ia jatuh cinta pada seorang wanita muslimah yang shalihah. Namun menyadari keadaan dirinya, ia tidak pernah menyampaikan perasaannya itu kepada wanita pujaannya. Untuk melampiaskan kerinduannya, seringkali ia memanjat tembok rumah wanita untuk sekedar bisa memandang wajahnya.
Suatu malam, ketika ia memanjat tembok rumah itu seperti biasanya, ia mendengar wanita pujaannya itu (dalam riwayat lain, suara seseorang atau suara tanpa wujud/hatif) sedang membaca Al Qur’an, Surat al Hadiid ayat 16, “Alam ya’ni lilladziina aamanuu an takhsya’a quluubuhum li dzikrillaah.” Yang artinya adalah : Belum datangkah waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati-hati mereka mengingat Allah?
Hati Fudhail bergetar mendengar ayat tersebut dan pikirannya jadi gelisah. Tiba-tiba saja ia bergumam, “Ya Allah, telah datang waktunya!!”
Ia kembali ke tempat persembunyiannya ketika akan merompak kafilah yang melewati tempat itu. Saat itu ada kafilah yang akan melewati tempatnya, salah satu dari mereka berkata, “Kita akan melewati gerombolan penjahat dan perompak, Fudhail bin Iyadh, apakah kita akan terus?”
Seorang temannya berkata, “Kita berangkat besok pagi saja, malam ini Fudhail sedang berkeliaran, kalau kita terus, mereka akan merampas semua barang dagangan kita!!”
Fudhail makin tertunduk malu. Bukan malu kepada kafilah itu karena mereka tidak mengetahuinya, tetapi malu kepada Allah. Begitu buruknya nama dan perilakunya di mata kebanyakan orang sehingga bisa menghambat dan mengganggu aktivitas mereka. Malam itu ia membubarkan kelompok perompaknya dan menyuruh anak buahnya untuk pulang ke rumahnya masing-masing. Ia sendiri memutuskan untuk bertobat dan pindah ke Makkah, dan mengisi sisa hidupnya dengan ibadah demi ibadah.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar