Selasa, 24 April 2012

Salah Satu Hikmah dari Menikah


Seorang pemuda menghabiskan banyak waktunya untuk ibadah, dan sedikit waktu untuk bekerja mencari penghasilan, sekedar memenuhi kebutuhannya yang memang tidak banyak. Ketika orang tua dan kerabatnya bermaksud menikahkannya, ia selalu saja menolak. Ia beranggapan bahwa kesibukannya mengurus istri dan anak-anak hanya akan mengganggu ibadahnya kepada Allah.
Pemuda itu makin disukai banyak orang karena kesalehannya, dan banyak di antaranya yang ingin mengambilnya sebagai menantu. Di jaman itu, ukuran keutamaan seseorang di masyarakat adalah akhlak dan kesalehannya, tidak seperti sekarang ini yang lebih mengacu pada harta dan profesinya. Karena itu, walau pekerjaannya hanya ‘sekedarnya’ yang mungkin  tidak bisa mencukupi kebutuhan suatu keluarga, banyak sekali orang yang ingin ‘melamar’ pemuda itu untuk dinikahkan dengan putrinya. Tetapi pemuda tersebut menolak dan tetap teguh dengan pendiriannya, dan makin meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadahnya kepada Allah.
Suatu hari ketika bangun dari tidurnya, tiba-tiba saja pemuda itu berkata, “Nikahkanlah aku, nikahkanlah aku!!”
Orang tua dan para kerabatnya yang ada di situ, saling berpandangan penuh keheranan. Salah seorang dari mereka berkata, “Mengapa tiba-tiba engkau minta menikah, padahal selama ini engkau selalu menolaknya walau banyak yang menginginkan dirimu??”
Pemuda itu berkata, “Saya ingin mempunyai anak yang banyak, dan ada di antara mereka yang meninggal ketika masih kecil (belum baligh), dan saya akan bersabar karenanya!!”
Sekali lagi orang tua dan kerabatnya berpandangan tidak mengerti, sepertinya tidak ada hubungannya dengan keinginannya yang tiba-tiba itu. Pemuda itu mengerti kebingungan mereka, dan ia menceritakan kalau baru saja bermimpi, seolah-olah kiamat telah tiba. Ia berdiri di padang Makhsyar dalam keadaan panas dan haus yang tidak terperikan, seolah-olah akan mematahkan lehernya. Tidak ada sesuatu yang bisa diminum untuk menghilangkan rasa haus dan panas itu, dan sepertinya ‘penderitaan’ itu akan berlangsung sangat lama.
Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba ia melihat anak-anak yang berjalan dan bergerak di antara begitu banyak orang dengan membawa gelas-gelas perak yang ditutup dengan saputangan dari cahaya. Mereka itu mencari-cari dan ketika menemukan seseorang, mereka memberikan minuman dalam gelas tersebut. Ketika beberapa anak melewatinya, ia mencoba mengulurkan tangan mengambil gelas itu sambil berkata, “Berikanlah kepadaku karena aku juga sangat haus!!”
Anak-anak itu menghalangi maksudnya, mereka memandanginya beberapa saat, kemudian berkata, “Anda tidak mempunyai anak di antara kami, dan kami hanya memberikan minuman kepada ayah dan ibu kami!!”
Pemuda itu berkata, “Siapakah kalian ini!!”
Mereka menjawab, “Kami adalah anak-anak dari kaum muslimin, dan kami meninggal sewaktu kami masih kecil, dan orang tua kami bersabar dengan musibah dari Allah tersebut!!”
Pemuda itu berkata kepada orang tua dan kerabat yang mengitarinya, “Saat itu aku sangat menyesal dan menangisi nasibku karena tidak mau menikah. Mungkin itu hukumanku karena ‘tidak mengikuti’ sunnah Rasulullah SAW. Tetapi tiba-tiba aku terbangun dan semua peristiwa itu ternyata hanya dalam mimpi, walau sepertinya sangat jelas dan terasa nyata. Karena itulah aku tiba-tiba berteriak minta segera dinikahkan!!”

Ilmu Lebih Utama daripada Harta


          Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Nabi SAW, merupakan salah seorang sahabat yang diutamakan karena ilmunya. Pengakuan itu muncul langsung dari Nabi SAW dengan sabda beliau, “Ana madinatul ‘ilmi, wa ‘aliyyun baabuhaa”
            Maksudnya adalah : Saya (Nabi SAW) adalah kotanya ilmu, dan Ali adalah pintunya, yaitu pintu dari kota ilmu tersebut. Tentu yang dimaksud ‘ilmu’ tersebut khususnya ilmu agama dan tentang alam akhirat, karena dalam suatu kesempatan lainnya, Nabi SAW pernah bersabda, “Kalian lebih tahu (daripada aku) tentang urusan duniamu!!”
            Para sahabat yang selalu “sami’na wa atho’na” (kami dengar dan kami mentaatinya) dengan semua perkataan dan sabda-sabda beliau itu tidak pernah mempermasalahkan, bahkan tidak jarang mereka meminta nasehat dan pendapat Ali dalam suatu permasalahan, walau usia Ali mungkin lebih muda. Dan jika Ali telah memberikan suatu pendapat dan pandangan, mereka akan mengikutinya, termasuk Umar bin Khaththab ketika menjadi khalifah.
            Ketika Nabi SAW telah wafat beberapa tahun lamanya, ada sekelompok orang yang meragukan keilmuan Ali. Sebagian riwayat menyebutkan, mereka itu dari kaum Khawarij, satu kelompok yang mendukung Ali bin Abi Thalib ketika terjadi pertentangan dengan Muawiyah. Tetapi ketika Ali ‘mengikhlaskan’ melepas jabatan khalifah, karena sebenarnya memang tidak berambisi, demi untuk persatuan umat Islam saat itu, kaum Khawarij itu berbalik melawan dan menentang Ali. Kaum Khawarij ini banyak penyimpangannya sehingga sebagian besar ulama menganggap sebagai kelompok yang sesat.
Mereka ini bermusyawarah dan memutuskan akan mengirim sepuluh orang dengan masalah (pertanyaan) yang sama. Jika Ali memberikan jawaban yang sama walau dengan pertanyaan yang sama, maka sebenarnya Ali ‘tidak pantas’ menyandang gelar sebagai pintunya ilmu sebagaimana disabdakan Nabi SAW. Orang pertama datang menghadap Ali dan berkata, “Wahai Imam Ali, manakah yang lebih utama, ilmu atau harta??”
“Ilmu” Kata Ali.
“Mengapa ilmu lebih utama??” Katanya.
Maka Ali berkata, “Sesungguhnya ilmu itu warisan para Nabi, sedangkan harta itu warisan dari Qarun, Fir’aun, Hammam, Syaddad dan lain-lainnya!!”
Orang pertama itu membenarkan dan berlalu pulang. Tentu saja jawaban Ali tersebut bersifat umum, karena ada juga orang yang diberikan kelimpahan harta, dan bisa memanfaatkan dengan baik untuk kemanfaatan hidupnya sesudah mati, baik di alam kubur, terlebih lagi di alam akhirat. Misalnya saja Ummul Mukminin Khadijah RA, Abu Bakar ash Shiddiq, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Aus, Qais bin Sa’d bin Ubadah, dan beberapa sahabat lainnya. Intinya, jika harta itu berada di tangan orang yang dermawan dan sangat perduli pada kaum fakir miskin, maka kedudukan harta tidak kalah utamanya dibandingkan ilmu.
Orang ke dua datang menghadap Ali dengan pertanyaan yang sama, dan Ali menyatakan ilmu lebih utama daripada harta. Tetapi ia menyampaikan alasan yang berbeda, “Ilmu akan menjagamu, sedangkan harta, engkau yang harus menjaganya!!”
Orang itu membenarkan Ali dan berlalu pulang, menyampaikan jawaban Ali kepada mereka yang menyuruhnya.
Ketika orang ke tiga datang dengan pertanyaan yang sama, Ali memberikan jawaban yang sama pula, kemudian ia menyampaikan alasannya, “Pemilik ilmu banyak sekali sahabatnya (dan murid-muridnya), sedang pemilik harta akan banyak sekali musuhnya (dan orang yang bermanis muka hanya untuk memperoleh pemberiannya, walau mungkin di dalam hati membencinya)!!”
Orang itu membenarkan Ali dan berlalu pulang, menyampaikan jawaban Ali kepada mereka yang menyuruhnya.
Ketika orang ke empat datang dengan pertanyaan yang sama, Ali memberikan jawaban yang sama pula, kemudian ia menyampaikan alasannya, “Ilmu akan bertambah jika engkau gunakan, sedangkan harta akan berkurang jika engkau menggunakannya!!”
Orang itu membenarkan Ali dan berlalu pulang, menyampaikan jawaban Ali kepada mereka yang menyuruhnya.
Ketika orang ke lima datang dengan pertanyaan yang sama, Ali memberikan jawaban yang sama pula, kemudian ia menyampaikan alasannya, “Pemilik ilmu akan selalu dihormati dan dimuliakan karena ilmunya, tetapi pemilik harta, akan ada saja yang memanggilnya sebagai si pelit, karena ia tidak memperoleh bagian dan manfaat dari harta tersebut!!”
Orang itu membenarkan Ali dan berlalu pulang, menyampaikan jawaban Ali kepada mereka yang menyuruhnya.
Ketika orang ke enam datang dengan pertanyaan yang sama, Ali memberikan jawaban yang sama pula, kemudian ia menyampaikan alasannya, “Pemilik harta harus selalu hati-hati dan menjaga agar tidak diambil oleh pencuri, sedang pemilik ilmu tidak perlu menjaganya!!”
Orang itu membenarkan Ali dan berlalu pulang, menyampaikan jawaban Ali kepada mereka yang menyuruhnya.
Ketika orang ke tujuh datang dengan pertanyaan yang sama, Ali memberikan jawaban yang sama pula, kemudian ia menyampaikan alasannya, “Pada hari kiamat, pemilik harta harus susah payah mempertanggung-jawabkan hartanya, sedangkan pemilik ilmu akan memperoleh syafaat dari ilmu yang dimilikinya (dan diamalkannya)!!”
Orang itu membenarkan Ali dan berlalu pulang, menyampaikan jawaban Ali kepada mereka yang menyuruhnya.
Ketika orang ke delapan datang dengan pertanyaan yang sama, Ali memberikan jawaban yang sama pula, kemudian ia menyampaikan alasannya, “Jika dibiarkan dalam waktu yang lama, harta akan menjadi aus dan rusak, sedangkan ilmu tidak akan menjadi aus dan lenyap!!”
Orang itu membenarkan Ali dan berlalu pulang, menyampaikan jawaban Ali kepada mereka yang menyuruhnya.
Ketika orang ke sembilan datang dengan pertanyaan yang sama, Ali memberikan jawaban yang sama pula, kemudian ia menyampaikan alasannya, “Harta bisa membuat hati menjadi keras dan akhirnya bersifat bakhil (karena terlalu cintanya kepada harta), sedangkan ilmu akan selalu menjadi penerang dan penyejuk hati!!”
Orang itu membenarkan Ali dan berlalu pulang, menyampaikan jawaban Ali kepada mereka yang menyuruhnya.
Dan akhirnya orang ke sepuluh datang dengan pertanyaan yang sama, Ali memberikan jawaban yang sama pula, kemudian ia menyampaikan alasannya, “Pemilik ilmu akan diberi gelar sebagai ilmuwan, sedangkan pemilik harta akan dipanggil atau digelari Tuan Besar!!”
Tampaknya Ali mengetahui (dengan ilham dari Allah, atau dari analisa pikirannya) niat dari orang-orang yang datang dengan pertanyaan yang sama tersebut, dan kepada yang terakhir datang itu, Ali berkata, “Andaikata kalian mengirim lebih banyak lagi orang dengan pertanyaan yang sama, pastilah aku akan memberikan alasan yang berbeda selagi aku masih hidup!!”
Memang, keutamaan ilmu atas harta tidak sepuluh itu saja, masih banyak lagi. Misalnya, pertanyaan akhirat (yaumul hisab) atas ilmu hanya satu, yakni apa dan bagaimana ilmu itu diamalkan? Sedangkan atas harta ada dua, pertama darimana dan bagaimana diperoleh harta tersebut diperoleh? Dan kedua, kemana dan bagaimana harta tersebut diamalkan (dibelanjakan)? Misalnya lagi, ketika seseorang meninggal, ilmu akan menemani pemiliknya hingga masuk kubur, bahkan bisa menjadi teman dan penolongnya menghadapi malaikat, tetapi harta hanya akan mengantarnya hingga ke pintu pemakaman, atau sampai ia diurug dengan tanah, setelah ia akan menjadi milik ahli warisnya. Dan masih banyak lagi yang bisa dikupas dari berbagai hadits-hadist Nabi SAW.   
            Setelah kembali dan menyampaikan pesan tersebut, mereka (kaum Khawarij itu) berkhidmad kembali kepada Ali bin Abi Thalib dan memperbaiki keislamannya dengan bimbingan beliau. 

Senin, 09 April 2012

Perompak yang Bertaubat

Fudhail bin Iyadh, nama kunyahnya Abu Ali, adalah seorang ulama sufi yang menghabiskan sisa hidupnya di Makkah dan meninggal di Tanah Haram tersebut. Ia dilahirkan tahun 105 H di Samarkand dan wafat tahun 187 H di Makkatul Mukaramah. Sebelumnya ia adalah seorang perompak yang sangat ditakuti di tempat kelahirannya dan di daerah Khurasan, tempat ia dibesarkan dan dewasa. Tidak ada kafilah dagang yang melewati dua kota tersebut kecuali selalu dihinggapi ketakutan akan dijarah oleh Fudhail bin Iyadh dan anak buahnya.
Suatu ketika Fudhail dan anak buahnya sedang beristirahat di tempat persembunyiannya seperti biasanya. Lewatlah suatu kafilah dagang yang kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang pemberani, sekaligus saleh. Ketika tiba di tempat Fudhail tersebut, salah seorang dari mereka berkata, “Fudhail dan anak buahnya berada di tempat ini, kita harus bagaimana??”
Salah satunya menjawab, “Kita panah saja mereka, jika ia terkena dan lari menghindar, kita lanjutkan perjalanan. Jika tidak, kita kembali saja!!”
Mereka sepakat dan mempersiapkan panah-panah mereka. Ketika tampak bayangan-bayangan hitam yang akan menghadang perjalanan mereka, salah satu dari mereka melepaskan anak panahnya sambil membaca ayat al Qur’an, “Alam ya’ni lilladziina aamanuu an takhsya’a quluubuhum li dzikrillaah…” 
Ayat al Qur’an dalam Surat al Hadiid, juz 28 ayat 16 itu artinya adalah : Belum datangkah waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati-hati mereka mengingat Allah?
Fudhail bin Iyadh menjerit keras sekali dan terjatuh ketika anak panah itu meluncur disertai lantunan ayat Al Qur’an. Anak buahnya mengerumuninya, disangkanya anak panah itu mengenai pimpinan mereka dan melukainya. Tetapi mereka sama sekali tidak menemukan luka pada tubuhnya, Fudhail bangkit sambil berseru, “Aku tertimpa panah Allah!!”
Salah seorang lainnya di kafilah itu melepaskan anak panahnya, dan ia juga melantunkan ayat Qur’an mengikuti temannya tadi, “Fafirruu ilallaahi innii lakum minhu nadziirun mubiin…!!
Ayat al Qur’an yang terdapat pada Surat adz Dzaariyat, juz 27 ayat 50 itu artinya adalah : Maka segeralah kembali kepada Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu.
Kembali Fudhail menjerit dan terjatuh, dan ketika anak buahnya memeriksanya, sama sekali ia tidak terluka karena panah tersebut meleset. Ia hanya bangkit lagi sambil berkata, “Aku terkena panah Allah!!!”
Satu orang lagi melepaskan anak panah ke kelompok perompak Fudhail bin Iyadh, dan ia juga melantunkan satu ayat Al Qur’an, “Wa aniibuu ilaa rabbikum, wa aslimuu lahu min qabli an ya’tiyakumul ‘adzaabu tsumma laa tunshoruun…!!”
Ayat al Qur’an itu terdapat pada Surat az Zumar, juz 24 ayat 54, artinya adalah : Dan kembalilah (bertaubatlah) kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).
Lagi-lagi Fudhail menjerit lebih keras walau anak panah itu tidak mengenai dirinya, ia berkata kepada anak buahnya, “Kalian semua pulanglah!! Aku menyesal telah melakukan semua kejahatan ini, hatiku takut kepada Allah. Aku akan meninggalkan semua yang telah aku lakukan selama ini…!!”
Fudhail segera pulang, kemudian ia berkemas untuk meninggalkan tempatnya bergelimang dengan kejahatan tersebut. Ia berniat ‘hijrah’ ke Makkatul Mukaramah dan tinggal di sana untuk menebus semua kesalahannya selama ini dengan bertaubat dan beribadah di Tanah Haram tersebut.
Ketika ia tiba di Naharwan, ia berkunjung kepada Khalifah Harun al Rasyid, raja dari Bani Abbasiyah yang terkenal saleh dan sangat menghargai ilmu pengetahuan. Ketika tiba di hadapannya, tiba-tiba Harun al Rasyid berkata, “Hai Fudhail, sesungguhnya dalam mimpiku aku mendengar seruan : Fudhail takut kepada Allah, ia memilih untuk mengabdi-Nya, maka sambutlah dia!!”
Mendengar ucapan tersebut, Fudhail menjerit dan berkata, “Ya Allah, dengan kemuliaan dan kebesaran-Mu, Engkau cintai hamba-Mu yang penuh dosa ini, yang telah meninggalkan-Mu selama empat puluh tahun dalam gelimang dosa!!”
Semua itu makin menguatkan tekadnya untuk ‘berhijrah’ ke Makkah dan memperbaiki dirinya di tempat kelahiran Islam dan Nabi Muhammad SAW itu. Salah seorang sahabat Fudhail yang juga tinggal bersamanya di Makkah, Abu Ali ar Razi, berkata, “Selama tigapuluh tahun aku tidak pernah melihat Fudhail tertawa, atau sekedar tersenyum (yakni, ia selalu dalam kesedihan karena dosanya di masa lalu), kecuali ketika anaknya yang bernama Ali meninggal. Ketika ditanyakan sebabnya, Fudhail berkata : Sesungguhnya Allah menyukai hal itu (yakni menimpakan ujian dan musibah kepadanya), maka saya pun menyukainya pula!!”   
Dalam riwayat lainnya disebutkan, bahwa Fudhail bertaubat karena seorang wanita yang dicintainya. Walaupun ia seorang perompak dan penjahat yang ditakuti, ternyata ia jatuh cinta pada seorang wanita muslimah yang shalihah. Namun menyadari keadaan dirinya, ia tidak pernah menyampaikan perasaannya itu kepada wanita pujaannya. Untuk melampiaskan kerinduannya, seringkali ia memanjat tembok rumah wanita untuk sekedar bisa memandang wajahnya.
Suatu malam, ketika ia memanjat tembok rumah itu seperti biasanya, ia mendengar wanita pujaannya itu (dalam riwayat lain, suara seseorang atau suara tanpa wujud/hatif) sedang membaca Al Qur’an, Surat al Hadiid ayat 16, “Alam ya’ni lilladziina aamanuu an takhsya’a quluubuhum li dzikrillaah.” Yang artinya adalah : Belum datangkah waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati-hati mereka mengingat Allah?
Hati Fudhail bergetar mendengar ayat tersebut dan pikirannya jadi gelisah. Tiba-tiba saja ia bergumam, “Ya Allah, telah datang waktunya!!”
Ia kembali ke tempat persembunyiannya ketika akan merompak kafilah yang melewati tempat itu. Saat itu ada kafilah yang akan melewati tempatnya, salah satu dari mereka berkata, “Kita akan melewati gerombolan penjahat dan perompak, Fudhail bin Iyadh, apakah kita akan terus?”
Seorang temannya berkata, “Kita berangkat besok pagi saja, malam ini Fudhail sedang berkeliaran, kalau kita terus, mereka akan merampas semua barang dagangan kita!!”
Fudhail makin tertunduk malu. Bukan malu kepada kafilah itu karena mereka tidak mengetahuinya, tetapi malu kepada Allah. Begitu buruknya nama dan perilakunya di mata kebanyakan orang sehingga bisa menghambat dan mengganggu aktivitas mereka. Malam itu ia membubarkan kelompok perompaknya dan menyuruh anak buahnya untuk pulang ke rumahnya masing-masing. Ia sendiri memutuskan untuk bertobat dan pindah ke Makkah, dan mengisi sisa hidupnya dengan ibadah demi ibadah.    

Ketika Ruh Berpisah dengan Jasad

             Suatu ketika Nabi SAW mendatangi rumah istri kesayangan beliau, al Khumaira, Aisyah RA. Melihat kedatangan beliau, Aisyah yang sedang duduk bersila ingin bangkit menyambut, tetapi Rasulullah SAW bersabda, “Duduklah saja pada tempatmu, wahai Ummul Mukminin, tidak perlu engkau berdiri!!”
            Nabi SAW menghampiri Aisyah dan kemudian berbaring terlentang dengan berbantalkan pangkuannya, tampak sekali kemanjaan dan kasih sayang beliau kepadanya. Sepertinya pada hari itu Rasulullah SAW sangat lelah sehingga tidak lama berselang beliau telah tertidur. Aisyah memandangi wajah beliau dengan kasih sayang dan kekaguman. Tanpa disadari jari jemarinya mengurai jenggot Rasulullah SAW, dan Aisyah menemukan sembilanbelas rambut jenggot yang telah memutih (beruban). Tiba-tiba saja tersirat dalam hatinya, “Sesungguhnya beliau akan keluat dari dunia (meninggal) sebelum aku, dan tinggallah umat Islam dalam keadaan tanpa nabi!!”
            Merasakan kenyataan seperti itu, Aisyah jadi bersedih dan menangis, air matanya mengalir ke pipi dan menetes jatuh mengenai wajah Rasulullah SAW sehingga beliau terbangun. Dengan heran beliau bersabda, “Apa yang membuatmu menangis, wahai Ummul Mukminin!!”
            Aisyah menceritakan perasaan sedih yang menghantui dirinya, dan Nabi SAW hanya tersenyum mendengarnya. Beliau bersabda, “Wahai Aisyah, keadaan apakah yang sangat menyusahkan bagi seseorang (yakni bagi ruhnya) ketika ia menjadi mayat?”
            Aisyah berkata, “Katakanlah padaku, ya Rasulullah!!”
            Beliau berkata, “Engkau saja yang mengatakannya dahulu!!”
            Aisyah sejenak berfikir, kemudian ia berkata, “Tidak ada yang menyusahkan atas diri mayit kecuali ketika ia diusung ke luar rumah menuju kuburnya, anak-anak yang ditinggalkannya akan berduka dan berkata : Wahai ayah, wahai ibu!! Begitu juga orang tuanya akan berkata : Wahai anakku, wahai anakku!!”
            Nabi SAW bersabda, “Hal itu memang terasa akan pedih, tetapi ada yang lebih pedih daripada itu!!”
            Aisyah berkata lagi, “Tidak ada yang lebih berat bagi mayit kecuali ketika ia dimasukkan ke dalam liang lahad dan ia diurug di bawah tanah, anak dan orang tuanya, kerabat dan kekasihnya akan meninggalkannya pulang. Mereka membiarkannya sendirian beserta amal perbuatannya, menyerahkan urusannya kepada Allah. Kemudian setelah itu datanglah malaikat Munkar dan Nakir ke dalam kuburnya!!”
            Beliau bersabda lagi, “Apa lagi yang lebih berat dari apa yang engkau katakan itu?”
            Akhirnya Aisyah menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui!!”
            Maka Nabi SAW bersabda, “Hai Aisyah, sesungguhnya saat yang paling berat (paling menyedihkan) bagi mayat adalah ketika tukang memandikan masuk ke dalam rumahnya untuk memandikan mayatnya….”
            Kemudian beliau menjelaskan lebih lanjut, bahwa ketika tukang memandikan itu melepas cincin (atau perhiasan lainnya) dari tubuhnya, melepas pakaian pengantin (atau pakaian lainnya) dari badannya, melepaskan sorban para syaikh dan fuqoha dari kepalanya, ketika itulah sang ruh berseru saat melihat tubuhnya yang telanjang, seruan yang bisa didengarkan oleh seluruh mahluk kecuali jin dan manusia, “Wahai tukang memandikan, demi Allah aku memohon kepadamu, agar engkau melepaskan pakaianku (dan lain-lainnya) dengan pelan-pelan, karena sesungguhnya saat ini aku tengah beristirahat dari sakitnya dikeluarkannya nyawaku oleh malaikat maut!!”
            Ketika tukang memandikan menuangkan air ke mayatnya, sang ruh berteriak keras dengan teriakan yang didengar oleh semua mahluk, kecuali jin dan manusia, “Hai tukang memandikan, demi Allah, janganlah engkau menuangkan air yang panas, jangan pula engkau tuangkan air yang terlalu dingin, sesungguhnya jasadku telah terbakar saat dicabutnya nyawaku!!”
            Ketika tukang memandikan mulai menggosok tubuhnya, lagi-lagi sang ruh berteriak, “Wahai tukang memandikan, demi Allah, janganlah memegang tubuhku terlalu keras, sungguh jasadku telah terluka sebab keluarnya nyawaku!!”
            Ketika selesai memandikan dan jasadnya diletakkan pada kain kafan, dan mulai diikat di bawah kakinya, sang ruh berseru lagi, “Demi Allah wahai tukang memandikan, janganlah engkau ikat terlalu erat pada kepalaku, agar masih terlihat wajah-wajah keluargaku, anak-anakku, dan kerabat-kerabatku lainnya. Karena saat ini terakhir kali aku bisa melihat mereka, aku tidak akan melihatnya lagi hingga hari kiamat tiba!!”
            Ketika dikeluarkan dari rumahnya dan diletakkan di dalam keranda, sang ruh berseru lagi, “Demi Allah, wahai para pengantarku, janganlah tergesa-gesa membawaku pergi sehingga aku berpamitan kepada rumahku, keluargaku, kerabatku, dan harta-hartaku. Aku tinggalkan istriku menjadi janda, anak-anakku menjadi yatim, karena itu janganlah kalian menyakiti mereka. Biarkanlah aku sesaat untuk mendengarkan suara keluargaku, anak-anakku, dan kerabat-kerabatku, karena aku akan berpisah hingga saat kiamat tiba….!”
            Ketika kerandanya dipikul dan keluar tiga langkah dari rumahnya, lagi-lagi sang ruh berseru, “Hai para kekasihku, saudara-saudaraku dan anak-anakku, janganlah kalian terbujuk oleh dunia sebagaimana dunia telah memperdaya aku!! Janganlah kalian dipermainkan oleh jaman sebagaimana ia telah mempermainkan aku!! Ambillah ibarat (hikmah) dariku!! Sesungguhnya aku meninggalkan untuk ahli warisku apa yang aku kumpulkan, dan aku tidak membawa (manfaat) apapun dari dunia (harta) yang kutinggalkan, bahkan Allah akan menghisabku. Engkau bersenang-senang dengannya (harta peninggalanku itu) dan kalian tidak mendoakan aku!!”
            Sungguh nasehat yang sangat berharga. Sayangnya, semua seruan dan teriakan ruh tersebut yang bisa didengar oleh seluruh mahluk, ternyata jin dan manusia tidak bisa mendengarnya. Padahal justru dua jenis mahluk itu yang sebenarnya bisa memperoleh banyak manfaat dan pengajaran jika saja bisa mendengar dan memahami seruan sang ruh.
Ketika jenazahnya dishalatkan dan sebagian orang lainnya meninggalkan masjid atau musholla, sang ruh berseru lagi, “Demi Allah, wahai saudara-saudaraku, aku tahu bahwa orang mati akan dilupakan oleh orang-orang yang masih hidup, akan tetapi janganlah kalian cepat-cepat pulang sebelum kalian melihat tempat tinggalku. Sesungguhnya aku tahu bahwa wajah mayat itu lebih dingin daripada air yang sangat dingin bagi orang-orang yang masih hidup, tetapi janganlah kalian terlalu cepat pulang meninggalkan aku sendirian!!”
            Ketika jenazahnya diletakkan di sisi kuburnya, dan kemudian diturunkan ke liang lahad, sang ruh berseru untuk terakhir kalinya, “Demi Allah, wahai saudara-saudaraku dan para pengantarku, sesungguhnya aku mendoakan kalian semua tetapi mengapa kalian tidak mau mendoakan aku? Wahai ahli warisku, tidaklah aku kumpulkan harta dunia kecuali aku tinggalkan untuk kalian, maka ingatlah kalian kepadaku dan berbuatlah kebaikan. Setelah aku mengajarkan kalian membaca al Qur’an dan tata krama (adab), hendaklah kalian jangan lupa mendoakan aku!!”    

Minggu, 01 April 2012

Murid yang Tidak Berterima Kasih

            Seorang yang sangat ahli tanding gulat, ia mempunyai tigaratus enampuluh lebih cara ‘kuncian’ untuk mengalahkan lawan-lawan tandingnya. Ia menjadi juara tak terkalahkan selama beberapa tahun lamanya. Ia mengajarkan kemampuannya kepada orang-orang yang memang mau belajar kepadanya, ia tidak pelit dengan ilmunya itu. Salah seorang muridnya mempunyai bakat yang sangat baik, dalam waktu sekejab saja sang murid telah menguasai berbagai keahliannya.
Dalam even-even pertandingan gulat yang dilakukan oleh kerajaan, sang guru ini tidak lagi mengikutinya dan mengirimkan muridnya yang sangat berbakat itu. Tidak membutuhkan waktu lama, sang murid telah menjadi sangat terkenal dan menjadi juara menggantikan kedudukan gurunya. Selama bertahun-tahun berikutnya, ia menjadi juara tak terkalahkan seperti halnya gurunya sebelumnya.
Sang murid tersebut memang seorang pemuda yang berbadan kekar dan tenaganya kuat sekali. Dengan didikan yang baik dan teknik-teknik yang diajarkan gurunya tersebut, makin lengkap saja kemampuannya. Sayangnya, ketika berada di puncak kepopuleran dan karirnya, sang murid ini menjadi sombong. Seperti kata pepatah : kacang yang lupa pada kulitnya, orang yang lupa pada asal-usulnya.
Ia memang tidak tinggal lagi belajar pada gurunya itu, tetapi orang-orang yang memujinya masih tidak pernah melupakan peran gurunya tersebut dalam mendidiknya, dan hal itu membuat ia tidak terima. Ia mengatakan bahwa berbagai kemampuan dan teknik itu memang telah dimilikinya sendiri sebelumnya. Bahkan dalam puncak kekurangan-ajarannya, ia berkata kepada sang Raja, “Wahai Raja, keunggulan guru dibandingkan dengan saya hanyalah karena umurnya dan haknya sebagai pelatih, yang telah mengajari saya. Dalam hal teknik dan seni saya telah menyamainya, bahkan saya melampauinya dalam hal kekuatan!!”
Sang guru hanya tersenyum ketika mendengar berita tentang perkataan muridnya tersebut. Ia tidak berkomentar, bahkan cenderung mengabaikan berita itu begitu saja. Ia memang seorang yang bijaksana, dan sejak muridnya itu belajar, ia telah memperkirakan hal seperti ini akan terjadi. Tampak dari watak dasar dari muridnya tersebut. Karena itu, sejak awal ia telah meninggalkan satu dua kuncian yang tidak diajarkan kepada muridnya tersebut.
Karena kesombongan anak muda itu makin menjadi-jadi, bahkan ia meremehkan gurunya itu, maka sang Raja memerintahkan untuk diadakan pertandingan antara keduanya. Didirikanlah panggung yang megah dan mengundang semua pembesar kerajaan, untuk menggelar pertandingan gulat tersebut.
Sang murid yang perkasa memasuki gelanggang laksana gajah yang buas, ia mendengus layaknya ingin merobohkan sebuah gunung dengan kekuatannya itu. Sementara sang guru, walau tampak tua dan lemah dibandingkan dengan muridnya tersebut, ia berdiri dengan tenang di tengah arena. Begitu dimulai, sang murid menyerang dengan garangnya, tetapi dengan sedikit gerakan sang guru bisa mengelakannya. Pada serangan ke dua, tampaknya sang murid mengerahkan segala kekuatan dan kemampuan tekniknya, kali ini sang guru, yang dengan mudah mengenali teknik serangan muridnya, bahkan mengenali kelemahannya, menghadang serangan tersebut. Dengan mudah ia mematahkan serangannya itu, dan kemudian melakukan kuncian yang selama ini tidak pernah diajarkannya kepada siapapun. Sang murid mengerahkan segala kekuatan untuk melepaskan diri, tetapi gagal juga. Makin kuat ia berontak, makin sakit saja rasanya kuncian yang dilakukan gurunya. Sampai suatu ketika, sang guru mengangkat tubuhnya dan membanting ke tanah dengan kerasnya sehingga seluruh kekuatannya seperti dilolosi dari sendi-sendinya. Ia berusaha bangkit, tetapi ternyata jatuh lagi, tidak kuat menyangga tubuhnya sendiri.
Penonton bersorak dengan gemuruh tanda gembira. Bagaimanapun mereka juga tidak senang dengan sikap sombong anak muda itu, bahkan hingga meremehkan sang guru. Raja bangkit dari tempat duduknya, menghampiri sang guru yang masih berdiri dengan tegapnya, walau dengan sikap merendah. Ia melepas jubah kehormatannya dan memakaikannya kepada sang guru, sambil berkata kepada anak muda yang tampak lemah tak berdaya, “Engkau menantang gurumu, menuntut diri lebih baik, tetapi engkau tidak bisa membuktikan ucapanmu!!”
Anak muda itu berkata, “Wahai raja yang berkuasa, itu bukan karena kekuatannya yang bisa melumpuhkan saya. Tetapi karena suatu ilmu rahasia yang saya belum pernah diajarkannya, dengan rahasia itulah ia mengalahkan saya!!”
Mendengar pengaduannya itu, sang guru berkata, “Dengan peringatan akan datangnya saat seperti ini, maka seorang bijaksana pernah berkata : Jangan berikan semua (rahasia) kekuatanmu kepada sahabatmu, karena jika ia berbalik menjadi musuhmu, maka kamu akan dikalahkan. Apakah engkau tidak pernah mendengar cerita itu, yakni seseorang yang dilukai sendiri oleh muridnya??”

Tamak kepada Harta Dunia

Nabi Isa AS terkenal sebagai seorang nabi yang sangat zuhud. Suatu ketika ada seorang lelaki Bani Israil mendatangi beliau yang sedang sendirian dan berkata, “Wahai Isa, saya ingin bersahabat dan selalu bersamamu!!”
Nabi Isa berkata, “Baiklah, marilah berjalan mengikutiku!!”
Beberapa waktu lamanya berjalan menyusuri sungai, lelaki yang mengikuti beliau itu tampaknya merasa lapar. Nabi Isa mengajaknya beristirahat, dan beliau ‘mengeluarkan’ tiga potong roti dari balik baju beliau yang kumuh. Entah, kapan beliau membelinya atau sejak kapan beliau menyimpannya di balik baju tersebut? Padahal dengan kezuhudannya, beliau tidak pernah membawa atau menyimpan makanan atau harta apapun ke manapun beliau pergi.
Nabi Isa menaruh tiga potong roti itu di depan mereka berdua, beliau makan satu potong dan lelaki itu ikut makan satu potong juga. Tersisa satu potong yang dibiarkan begitu saja. Nabi Isa turun ke sungai untuk minum air, dan ketika kembali kepada lelaki teman seperjalanannya itu, sepotong roti yang tersisa itu telah hilang atau habis. Nabi Isa bertanya, “Siapakah yang mengambil sepotong roti itu?”
“Saya tidak tahu!!” Katanya.
Nabi Isa memandangnya sesaat dengan tajam, kemudian mengajaknya pergi melanjutkan perjalanan. Beberapa waktu lamanya perjalanan, mereka tiba di pinggiran suatu hutan. Beliau melihat seekor rusa dengan dua ekor anaknya, dan beliau memanggil salah satu anaknya. Setelah mendekat, beliau menyembelih dan membakarnya, dan memakan dagingnya berdua dengan temannya itu hingga habis. Setelah itu itu Nabi Isa memanggil anak rusa tersebut, dan dengan ijin Allah, tulang-belulangnya dengan tiba-tiba telah kembali menjadi anak rusa yang utuh dan berlari kembali ke induknya. Lelaki itu hanya bisa memandang dengan perasaan takjub.
Nabi Isa berkata kepada temannya itu, “Demi Allah yang telah menunjukkan padamu bukti kekuasaan-Nya ini, siapakah yang mengambil sepotong roti yang ke tiga itu?”
“Saya tidak tahu!!” Kata lelaki itu, masih bertahan dengan jawabannya semula.
Lagi-lagi Nabi Isa hanya memandangnya sesaat dengan tajam, kemudian mengajaknya melanjutkan perjalanan. Tidak lama kemudian, mereka terhalang oleh sungai yang cukup lebar, tidak ada tukang perahu atau rakit yang bisa dimintai tolong. Maka Nabi Isa memegang tangan lelaki itu, dan menuntunnya berjalan di atas permukaan air dengan tenangnya. Ketika telah sampai di seberang, beliau berkata lagi, “Demi Allah yang telah menunjukkan padamu bukti kekuasaan-Nya ini, siapakah yang mengambil sepotong roti yang ke tiga itu?”
“Saya tidak tahu!!” Kata lelaki itu, masih saja bertahan dengan jawabannya.
Seperti sebelumnya, Nabi Isa hanya memandangnya sesaat dan mengajaknya meneruskan perjalanan. Tiba di tengah hutan, mereka beristirahat, Nabi Isa mengambil segenggam tanah dicampur dengan kerikil, dan mengepalnya menjadi tiga bagian sama besar. Setelah itu beliau bersabda, “Dengan ijin Allah, jadilah kalian emas!!”
Tiga gumpalan tanah itu menjadi emas, lelaki itu tampak berbinar-binar matanya. Nabi Isa berkata sambil lalu, “Satu emas untukku, satu emas untukmu, dan satunya lagi untuk orang yang mengambil sepotong roti yang ke tiga itu!!”
Segera saja lelaki itu berkata, “Wahai Nabi Isa, akulah orang yang memakan roti yang ketiga itu!!”
Nabi Isa bangkit berdiri, dan berkata, “Ini, ambillah semua emas ini, aku tidak memerlukannya, tetapi jangan pernah mengikuti aku lagi!!”
Nabi Isa pergi meninggalkannya, tetapi tampaknya ia tidak perduli lagi. Bahkan sampai beliau hilang dari pandangan, dengan tamaknya, ia masih asyik membolak-balik emas yang penuh ajaib tersebut. Tetapi tiba-tiba datang dua orang yang bermaksud merampas hartanya, untungnya ia mempunyai kemampuan bernegosiasi. Dengan bujuk rayu, ia berhasil menggagalkan maksud ke duanya dan menjanjikan untuk membagi tiga harta yang dimilikinya sama rata, mereka berdua menyetujuinya.
Kini mereka bertiga berjalan bersama layaknya seorang sahabat akrab. Ketika merasa lapar, ia memberi uang kepada salah satu dari orang tersebut untuk membeli makanan di warung yang tempatnya agak jauh. Setelah temannya berlalu pergi, keduanya berbincang-bincang. Ia berkata, “Untuk apa kita mesti membagi tiga harta ini. Sebaiknya kita bagi untuk kita berdua saja. Jika temanmu itu datang, kita bunuh saja, gimana?”
“Ide yang brillian!! Biar aku yang melakukannya jika nanti ia muncul” Kata lelaki satunya, yang tampaknya tidak kalah tamaknya dengan teman barunya itu.
Tetapi sepertinya ketamakan itu juga tengah meliputi lelaki yang sedang disuruh membeli makanan itu. Terbersit dalam pikirannya, “Untuk apa susah-susah membagi hartanya itu, semua itu adalah milikku. Biarlah makanannya nanti kucampuri dengan racun!!”
Setelah ia makan sepuas-puasnya di warung, dan meminta dua porsi makanan lainnya dibungkus, ia pergi membeli racun dan mencampurkannya dengan makanan dua temannya itu.
Begitulah, ketika ia kembali, temannya langsung memukulinya dengan kayu yang cukup besar sehingga ia tewas seketika. Mereka berdua sangat gembira, mudah sekali memujudkan rencananya itu. Karena perut keroncongan, mereka memutuskan untuk makan terlebih dahulu sebelum membagi hartanya. Tetapi belum sampai setengah porsi mereka habiskan, leher mereka itu serasa tercekik dan mereka jatuh terguling, mati dengan mulut berbusa dan wajah membiru karena racun yang sangat kuat.
Tidak berlalu lama, Nabi Isa bersama beberapa orang sahabat beliau melewati tempat tersebut dan mendapati tiga mayat dengan harta berserakan di sekitarnya. Beliau mengenali satunya sebagai orang yang pernah mengikuti beliau itu. Beliau berpesan kepada sahabat-sahabatnya, “Inilah contohnya (tamak kepada) dunia, hendaklah kalian berhati-hati dengan harta dunia ini!!”