Sabtu, 25 Februari 2012

Khidr AS Muncul karena Ketulusan (2)

            Seorang lelaki berniat untuk terjun ke dunia rohani (dunia sufi). Ia mendatangi banyak tempat dimana diadakan pengajian tentang kesufian, membaca banyak kitab-kitab yang berkaitan itu. Telah banyak ucapan-ucapan para guru sufi yang telah didengarnya, banyak pula sikap dan perbuatan yang dilihat dan dipraktekkannya dengan bimbingan para guru itu. Dengan senang hati pula ia melakukan berbagai latihan spiritual dan perintah-perintah peribadatan yang ketat dan keras. 
            Entah berapa tahun, atau berapa belas tahun yang telah dilaluinya, berkecipung di dunia tasauf. Ia merasa telah banyak memperoleh kemajuan dalam beribadah, tidak sekedar praktek lahiriahnya, tetapi juga rahasia-rahasia rohaniahnya. Namun demikian ia masih bingung, tingkatan apa yang telah dicapainya? Sejauh dan sedalam apa ia telah menempuh dunia rohaniah itu? Kapankah dan dimanakah pencariannya akan berakhir?
            Suatu ketika ia berjalan sambil merenungi (muhasabah) dirinya sendiri, segala perbuatan dan tingkah lakunya, mana yang sesuai perintah Allah dan Rasul-Nya dan mana yang hanya kepura-puraannya semata? Mana yang ia tulus melakukannya, mana pula yang hanya ambisi egonya? Tanpa disadarinya, langkahnya sampai di depan rumah seorang manusia arif (tokoh sufi) yang telah terkenal kebijaksanaannya. Dan, tanpa disadarinya pula, ia berdiri di samping seorang tua, yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Khidr AS. Tentu saja ia gembira tidak terkira karena Khidr telah terkenal di kalangan kaum sufi sebagai “Penunjuk jalan rahasia ke arah jalan kebenaran”
            Nabi Khidr membawanya ke suatu tempat, di mana ia menyaksikan orang-orang yang tampak sangat berduka dan sengsara. Kepada mereka ini, lelaki itu berkata, “Siapakah kalian ini sebenarnya?”
            Salah seorang dari mereka berkata, “Kami adalah orang-orang yang tidak mengikuti ajaran-ajaran yang sejati, kami tidak setia (tidak istiqomah) dengan tugas yang dibebankan kepada kami. Dan kami hanya memuliakan guru-guru yang kami angkat sendiri!!”
            Kemudian Nabi Khidr membawanya ke tempat lainnya, di mana ia menyaksikan orang-orang yang wajahnya berseri-seri dan tampak berbahagia. Kepada mereka ini, lelaki itu berkata, “Siapakah kalian ini?”
            Salah seorang dari mereka berkata, “Kami adalah manusia-manusia yang tidak menuruti petunjuk-petunjuk jalan kebenaran yang sebenarnya!!”
            Tentu saja lelaki itu heran dengan jawaban tersebut, ia berkata, “Kalau memang kalian tidak mengikuti petunjuk-petunjuk itu, bagaimana kalian bisa tampak sangat berbahagia?”
            Mereka berkata, “Karena kami lebih memilih kebahagiaan daripada kebenaran. Seperti halnya orang-orang yang memilih guru-guru mereka sendiri, sebenarnya kami memilih jalan kesengsaraan (penyesalan) pula!!”
            “Bukankah kebahagiaan itu adalah cita-cita tertinggi dari umat manusia?” Lelaki itu masih tampak tak percaya yang yang dilihatnya, tentunya didasari dengan yang telah diyakininya selama ini.
            “Tujuan utama dari umat manusia adalah kebenaran, dan kebenaran itu bukanlah kebahagiaan, ia jauh lebih utama dari kebahagiaan. Seseorang yang telah mencapai kebenaran, dapat memiliki perasaan-perasaan apapun yang diinginkannya, atau membuang semua perasaan-perasaan itu tanpa beban…!!”
            Lelaki itu tampak mulai memahami, dan mereka melanjutkan penjelasannya, “Kami telah berpura-pura bahwa kebenaran itu adalah kebahagiaan, dan kebahagiaan itu adalah kebenaran. Banyak sekali orang yang percaya kepada kami, termasuk engkau sendiri mungkin beranggapan demikian. Tetapi percayalah, kebahagiaan itu akan memenjarakan dirimu sebagaimana yang dilakukan oleh kesengsaraan!!”
            Setelah pemahaman itu makin meresap ke dalam hatinya, tiba-tiba saja ia telah ada di depan rumah manusia arif seperti sebelumnya, dan Khidr masih berada di sisinya. Khidr berkata, “Aku akan mengabulkan sebuah permintaanmu!!”
            Lelaki itu berkata, “Aku ingin tahu mengapa aku telah gagal dalam pencarianku, dan bagaimana aku dapat berhasil?”
            Khidr berkata, “Engkau telah menyia-nyiakan hidupmu, karena engkau manusia pembohong. Engkau hanya mencari kepuasan pribadi (ego dan prestise), walau sebenarnya engkau bisa mencari kebenaran!!”
            “Namun aku sedang mencari kebenaran itu ketika aku bertemu denganmu, dan hal itu tidak terjadi pada setiap orang!!” Katanya, masih mnecoba membela diri.
            “Benar,” Kata Khidr, “Ketulusan hatimu yang cukup besar untuk mencari kebenaran demi kebenran itu sendiri, walau hanya sesaat saja, yang menyebabkan aku datang untuk menemuimu!!”
            Mendengar penuturan Khidr itu, ia merasakan kegairahan yang menggelora untuk masuk ke dalam kebenaran dengan segenap ketulusan hatinya. Ia tampak tak perduli walau ia akan tenggelam dalam samudra kebenaran yang tidak berujung itu.
Ketika Khidr beranjak pergi, ia berusaha mengejarnya tetapi Khidr berkata, “Jangan ikuti aku! Aku akan kembali ke dunia yang penuh tipuan, karena di sanalah seharusnya aku berada untuk melaksanakan tugasku!!”
Begitu Khidr lenyap dari pandangan, ia tidak lagi berada di halaman rumah manusia arif seperti sebelumnya, tetapi ia telah berada di negeri kebenaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar